Belajar Dari Keberhasilan Dan Kegagalan SONY | Musuh Terberat Seringkali Datang Dari Diri Sendiri

Senja mulai membayangi sebuah gedung pencakar langit yang megah. Matahari petang mulai melipir, kembali ke peraduannya. Di salah satu koridor gedung itu, seorang manajer muda tampak menangis terisak. Ada kegetiran yang begitu pahit di matanya.
Manajer muda itu baru saja selesai meeting “new product idea” dengan para petinggi di kantornya. Ia dibantai : ide produk baru yang ia presentasikan, dikecam oleh para seniornya.
“Ide produk baru yang kekanak-kanakan !! Idenya tidak sesuai dengan tradisi perusahaan ini !!” Begitu kecaman dari para petingginya.
Batin manajer muda itu terluka. Hatinya berduka lantaran ide produk barunya diremehkan seperti calon pecundang.
“Senior-seniorku itu bodoh. Mereka tidak paham perkembangan pasar.” Begitu manajer muda itu membatin. Masih dengan mata yang berkaca-kaca. Semburat senja terus membayang langit sore itu.
Manajer muda itu tidak menyerah. Ia lalu bergerilya menemui CEO dan Presiden Komisaris perusahaan dimana ia bekerja. Tanpa kenal lelah, ia meyakinkan mereka bahwa ide produknya bisa menjadi ikon bagi masa depan perusahaan.
Beruntung CEO perusahaan itu akhirnya menerima ide produk baru dari manajer muda yang gigih itu.
Sejarah kelak mencatat, ide produk itu menjelma menjadi produk legendaris dan terlaris dalam industri digital dunia.
Anak muda itu bernama Ken Kutaragi. Perusahaan tempat ia bekerja : Sony. Ide produk yang ia usulkan :Sony PlayStation.
Ironi sejarah hadir disitu : ide produk yang dulu dikecam senior-senior Sony itu menjadi produk Sony paling sukses setelah Walkman. Konsol game PlayStation memang merupakan salah satu produk paling laris dan fenomenal bagi bisnis Sony.
Kisah Sony PlayStation mendedahkan sebuah pelajaran penting : ide inovasi radikal tak mudah diwujudkan.
Ide-ide inovasi yg brilian acap mengalami kematian prematur justru karena penolakan dari pihak internal.
Iklim senioritas, konflik serta arogansi internal sering membuat ide kreatif layu sebelum mekar. Kisah penolakan ide produk Playstation oleh senior-senior di Sony menunjukkan mentalitas itu.
Kompetisi bisnis tersulit sering bukan dengan perusahaan lain. Namun justru perang antar divisi dalam perusahaan itu sendiri. Nafas inovasi kehilangan oksigen, lantaran di-sabotase oleh konflik internal antar divisi yang begitu keras.
Maka musuh (rival) terbesar seringkali bukan datang dari pihak (perusahaan) lain, tapi muncul dari elemen internal dalam diri perusahaan itu sendiri.
Ego dan kepentingan sebuah divisi seringkali bertabrakan dengan kepentingan divisi lain. Sialnya, masing-masing divisi itu jarang yang mau mengalah, dan ngotot dengan kepentingannya masing-masing. Meeting demi meeting dijalani, namun gagal membangun sebuah kata kunci yang magis : koordinasi dan kolaborasi antar divisi.
Alhasil, berbagai inisiatif yang mantap ataupun ide inovasi yang brilian mandek di tengah jalan, karena koordinasi antara divisi adalah sebuah kemewahan yang sulit diwujudkan.
Kembali ke kisah Sony. Sejarah penciptaan Sony PlayStation yang sarat intrik dan resistensi, mungkin juga bisa memberi penjelasan kenapa dalam “smartphone war” mereka begitu tersengal-sengal mengejar laju Samsung yang begitu cepat.
Sony Xperia Z Series mungkin produk yang indah. Namun mereka telah kehilangan momentum dari Samsung Galaxy Series yang produknya datang silih berganti, dengan kecepatan yang mencengangkan. Juga dengan varian screen yang rancak : mulai dari 2.6 inch hingga seri Grand dengan 6 inch hingga Galaxy Series Edge dengan layar melengkungnya.
Dalam produk tablet, Sony juga termehek-mehek. Ketinggalan jauh dari Samsung Tab yang terus membajiri pasar dengan aneka pilihan.
Seperti yang pernah diulas disini, Samsung memang memiliki senjata ampuh dalam perang inovasi : speed. Speed in decision making. Speed in new product launch. Sebaliknya dengan Sony. Berkaca dari kisah PlayStation diatas, mereka mungkin terlalu sibuk dengan “perang internal antar divisi”. Akibatnya fatal : peluncuran produk baru acap berjalan terseok-seok, dan akhirnya kehilangan momentum.
Maka benar jika ada sebuah pesan bijak yang mengatakan : perang terberat sesungguhnya adalah mengalahkan ego dan nafsu dirimu sendiri. Bukan mengalahkan pihak lain

Komentar